Beras Oplosan vs Beras Bulog Tak Layak Konsumsi: Masyarakat dan Negara Sama-Sama Dirugikan

Beras Oplosan vs Beras Bulog Tak Layak Konsumsi: Masyarakat dan Negara Sama-Sama Dirugikan

Medan, poindonews.com | Dalam beberapa waktu terakhir, publik kembali dihebohkan oleh dua skandal pangan yang meresahkan beredarnya beras oplosan di pasaran dan temuan beras Bulog yang tidak layak konsumsi. Keduanya menyisakan luka mendalam dalam tata niaga pangan nasional. Namun yang menjadi sorotan, siapa yang sebenarnya paling dirugikan dari dua praktik ini?

Beras Oplosan Masyarakat Korban Utama beras oplosan adalah praktik curang dengan mencampur beras kualitas rendah atau rusak dengan beras berkualitas tinggi, lalu dijual dengan harga tinggi seolah-olah beras premium. Praktik ini jelas merugikan konsumen secara langsung. Masyarakat membeli beras dengan harga mahal, namun tidak mendapatkan kualitas gizi dan keamanan pangan yang sesuai.

Selain merugikan dari segi ekonomi, konsumsi beras oplosan juga dapat berdampak pada kesehatan, terlebih jika beras yang dicampur mengandung jamur, kadar air tinggi, atau residu kimia berbahaya.

Beras Bulog Tak Layak Konsumsi Negara dan Rakyat Sama-Sama Dirugikan Sementara itu, skandal beras Bulog yang tidak layak konsumsi mencuat ketika ditemukan ribuan ton beras yang rusak atau tidak memenuhi standar kualitas di gudang penyimpanan. Ini bukan hanya soal pangan, tapi menyangkut tata kelola distribusi dan pengawasan negara.

Berbeda dengan beras oplosan yang murni ulah oknum pasar, kasus beras Bulog menyentuh sistem negara. Anggaran negara digunakan untuk pengadaan dan penyimpanan beras tersebut, dan jika akhirnya rusak atau tak layak makan, maka negara rugi secara finansial dan rakyat rugi dari sisi hak pangan.

Pernyataan Menteri Pertanian Minim Empati, Minim Logika Di tengah gejolak harga dan kontroversi ini, pernyataan Menteri Pertanian justru mengundang kritik. Dalam sebuah kesempatan, ia menyebut “Beras di Indonesia naik sedikit saja sudah ramai protes, padahal di Jepang harga beras jauh lebih mahal tapi masyarakatnya santai-santai saja.”

Pernyataan ini dinilai minim empati dan logika, serta tidak memperhatikan konteks sosial ekonomi antara Indonesia dan Jepang. Di Jepang, pendapatan per kapita tinggi, tingkat kemiskinan rendah, dan subsidi pangan terstruktur. Sementara di Indonesia, beras adalah makanan pokok bagi mayoritas rakyat, terutama kelompok berpenghasilan rendah.

Membandingkan dua kondisi yang sangat berbeda justru menunjukkan kurangnya pemahaman atas realitas rakyat. Pernyataan seperti ini bisa dianggap asal bicara, alih-alih menenangkan publik atau menunjukkan solusi konkret.

Afrizal (Ketua Rumah Solusi Indonesia): “Ini Membuka Kejahatan Lapis Pertama, Lalu Menambah Lapis Baru”

Menanggapi dua persoalan utama beras oplosan dan beras Bulog tak layak konsumsi Afrizal, Ketua Rumah Solusi Indonesia, menilai bahwa ini adalah gejala dari kejahatan sistemik yang bertingkat.

“Kasus beras oplosan adalah kejahatan lapis pertama mengincar masyarakat secara langsung. Tapi ketika kita bicara beras Bulog yang tak layak makan, ini bukan hanya lapis pertama, tapi menambah lapisan kejahatan baru. Karena dana negara ikut dirampas secara terselubung, dan rakyat tetap jadi korban.”

Afrizal menambahkan bahwa penyelesaian masalah pangan tidak cukup hanya dengan membela harga atau membuat pembenaran-pembenaran retoris. Yang dibutuhkan adalah pengawasan ketat, keterbukaan data, dan keberanian menindak semua pelaku, baik di pasar maupun di dalam sistem negara itu sendiri.

Saatnya Reformasi Tata Niaga Pangan Baik beras oplosan maupun beras Bulog yang tidak layak konsumsi adalah bentuk nyata dari kegagalan sistem pangan kita. Masyarakat sebagai konsumen dan negara sebagai penanggung jawab distribusi pangan harus dilindungi dari praktik-praktik seperti ini.

Pernyataan sembrono dari pejabat publik hanya menambah luka di tengah kondisi yang sudah berat. Sudah saatnya dilakukan reformasi menyeluruh terhadap tata niaga pangan, mulai dari hulu produksi, pengadaan, penyimpanan, hingga distribusi.

Rakyat tidak butuh pembanding yang tidak relevan. Rakyat butuh pangan yang layak, harga yang terjangkau, dan keadilan yang ditegakkan.