Post-Truth : Ketika Opini dan Kepentingan Merusak Intelektualitas

Post-Truth : Ketika Opini dan Kepentingan Merusak Intelektualitas

Fenomena post-truth semakin marak di Indonesia, menyebabkan banyak masyarakat terjebak dalam informasi yang tidak akurat dan berbahaya bagi intelektualitas.

Post-truth adalah istilah yang merujuk pada suatu situasi di mana faktualitas atau kebenaran tidak lagi menjadi prioritas utama dalam diskusi dan debat politik. Dalam politik post-truth, opini dan emosi seringkali lebih penting daripada fakta atau bukti dalam mempengaruhi kepercayaan masyarakat.

Istilah post-truth pertama kali dikenalkan pada tahun 2016 oleh Oxford Dictionaries yang mendefinisikannya sebagai "situasi di mana fakta menjadi kurang penting dalam mempengaruhi opini publik daripada perasaan pribadi atau keyakinan". Istilah ini sering dikaitkan dengan konteks politik, terutama dalam kampanye politik dan pemilihan umum, dimana pihak-pihak yang bersaing dapat menggunakan narasi yang tidak sepenuhnya benar atau bahkan menyesatkan untuk memenangkan dukungan publik.

Dalam politik post-truth, politisi atau kelompok politik dapat dengan mudah memanipulasi fakta atau menyebarkan informasi yang tidak benar dengan tujuan memperkuat argumen mereka atau memenangkan dukungan publik. Hal ini dapat terjadi karena adanya penyebaran informasi yang cepat dan luas melalui media sosial, yang sering kali tidak diawasi dengan baik dan dapat memperkuat kepercayaan yang salah atau konspirasi.

Politik post-truth memiliki dampak negatif pada sistem politik, karena memperkuat polarisasi dan kebencian dalam masyarakat dan dapat mengancam kebebasan pers dan kredibilitas institusi publik. Oleh karena itu, penting untuk terus memperjuangkan integritas dan kebenaran dalam politik, serta mempromosikan literasi media dan kritis di masyarakat.

Ada beberapa faktor penyebab maraknya politik post-truth di Indonesia, diantaranya:

1. Medsos sebagai platform utama: Medsos menjadi media utama dalam menyebarkan informasi dan opini politik. Hal ini menyebabkan banyak informasi salah dan tidak berdasar yang beredar di platform tersebut.

2. Menarik perhatian publik: Politik post-truth dapat menarik perhatian publik dengan mudah karena mengandalkan isu-isu kontroversial dan tidak faktual.

3. Persaingan politik: Persaingan politik yang semakin ketat membuat para politisi berlomba-lomba menciptakan narasi yang dapat memenangkan hati publik, terlepas dari kebenaran atau akurasi informasi tersebut.

4. Kurangnya literasi media: Banyak masyarakat Indonesia yang masih kurang literasi media dan tidak mampu membedakan informasi yang benar dan salah.

5. Reputasi media yang buruk: Beberapa media dianggap kurang dapat dipercaya oleh masyarakat karena cenderung memihak pada pihak tertentu atau memiliki agenda politik sendiri. Hal ini membuat masyarakat lebih mudah percaya pada informasi yang beredar di medsos.

Para politisi berlomba-lomba menciptakan narasi yang bisa menarik perhatian dan menyebarkan informasi yang bersifat kontroversial dan tidak faktual. Hal ini juga dimanfaatkan dengan baik oleh pihak-pihak tertentu untuk menyebarluaskan informasi yang merugikan kepentingan publik. Tanpa disadari, masyarakat menjadi korban politik post-truth, sehingga mempengaruhi kualitas intelektualitas yang semakin menurun.

Ketidaksepakatan dan kecurigaan terhadap pihak tertentu juga memicu masyarakat percaya pada narasi politik post-truth yang disampaikan oleh kelompok yang sama. Ketidaksepakatan atau kecurigaan terhadap pihak tertentu dapat membuat masyarakat lebih mudah percaya pada narasi yang tidak berdasar yang disajikan oleh golongan-golongan yang dianggap memiliki kepentingan sama.

Post-truth dapat memperkuat bias konfirmasi atau kemampuan untuk hanya mencari informasi yang sesuai dengan keyakinan dan pandangan yang sudah dimiliki sebelumnya. Hal ini dapat memperkuat keyakinan yang salah dan menimbulkan ketidakadilan dalam berbagai bidang, seperti politik, hukum dan kesehatan.

Dalam konteks intelektualitas, post-truth juga dapat merusak kualitas diskusi dan debat publik yang seharusnya didasarkan pada fakta dan bukti empiris. Post-truth membuat diskusi dan debat publik hanya berpusat pada opini dan narasi yang populer, bukan pada analisis kritis yang berkualitas.

Oleh karena itu, penting bagi setiap individu untuk terus meningkatkan kemampuan berpikir kritis dan rasional serta memperoleh informasi dari sumber yang terpercaya dan berbasis fakta. Hal ini dapat membantu mencegah post-truth merusak intelektualitas seseorang dan mengancam kualitas debat publik dan keputusan politik yang berkualitas.

Masyarakat juga diharapkan dapat memperhatikan faktor kepentingan dan motivasi dari pihak yang menyajikan informasi, serta membedakan antara opini dan fakta yang benar. Dengan meningkatkan literasi media untuk memperoleh informasi yang akurat dan berimbang, diharapkan masyarakat Indonesia dapat lebih kritis dalam menyikapi informasi politik yang beredar dan tidak mudah terjebak dalam politik post truth yang merusak intelektualitas.

Artikel ini ditulis oleh Bob Nasution, alumni Fisip - Universitas Muhammadiyah Tapanuli Selatan.