Begini Pandangan Psikologi tentang Perilaku Olok-Mengolok
MEDAN, Poindonews.com- Belakangan ini, perilaku olok-mengolok atau ejek-menghina menjadi bahan perbincangan. Mulai dari seorang pendakwah mengolok penjual es teh dalam majelisnya. Terakhir, juga sakit hati akibat sering diolok juga menjadi motif seorang pria yang menikam anak kecil hingga tewas di Deli Serdang.
Orang yang suka menghina, mengolok dan merendahkan orang lain, dalam pandangan psikologi disebut memiliki gangguan kepribadian. Hal itu dijelaskan oleh Wakil Ketua Bidang VI Badan Kontak Majelis Taklim (BKMT) Sumatera Utara Lisa Afrianti, S.Psi.
“Jadi gangguan kepribadian itu macam-macam. Secara psikologi menyebutkan dengan gangguan kepribadian narsistik. Jadi gangguan kepribadian ini membuat seseorang itu berusaha untuk terus-menerus merasa bahwa dirinya ini adalah orang yang hebat, yang superior, yang benar-benar perfect,” ujar pada media di Medan, Selasa (11/12/2024).
Lisa mengingatkan bahwa jika dalam perspektif agama, perbuatan menghina dan mengolok itu jelas satu sifat yang tercela. Secara sosial, hal ini juga sebenarnya dapat memicu rusaknya hubungan sosial. Padahal manusia itu adalah makhluk sosial.
“Jadi secara alami, kita sebagai manusia itu membutuhkan bantuan orang lain. Jadi saat seseorang dihina, hal ini akan menciptakan sebuah ketegangan dan ketidaknyamanan dalam kita berinteraksi,” jelasnya.
Terkait gangguan kepribadian secara psikologi, Lisa mengingatkan bahwa sifat narsistik membuat seseorang itu berusaha untuk terus-menerus merasa bahwa dirinya ini adalah orang yang hebat. Sehingga dengan hal seperti ini perlu membuat orang lain itu merasa lebih rendah dari dia.
“Seseorang yang memiliki kepribadian yang narsistik itu memiliki dampak yang negatif. Kemudian mereka adalah orang yang terlalu terfokus kepada dirinya. Sehingga rasa empati itu sangat kurang. Cenderung lebih egois, kemudian hanya terfokus buat dirinya sendiri. Jadi dia tidak peduli misalnya orang yang dia bully, orang yang dia olok-olok itu merasa tersakiti tidak. Orang yang dia olok-olok itu merasa malu tidak, itu mereka tidak peduli,” jelasnya.
Lantas, bagaimana sikap kita jika berada dalam posisi yang dirundung atau diolok?
Sekretaris DPC Partai Gelora Indonesia Kecamatan Medan Johor ini mengingatkan jika kita menerima serangan verbal maka harus bereaksi melakukan konfrontasi balik tetapi dalam arti yang positif. Lisa menyarankan agar harus meningkatkan kepercayaan diri. Serta yang terpenting, menjauh dari orang-orang yang membuat diri tidak nyaman, menjauh dari orang-orang yang toxic, dan bergabung atau pergilah ke tempat orang-orang yang saying, perhatian dan bisa menerima kita.
“Kalau kita mendapat penghinaan, kita harus menghadapi itu dengan rasa percaya diri. Bahwa apa yang dilakukan, apa yang disampaikan orang tersebut, itu adalah tidak benar. Jadi kita harus yakin terhadap diri kita sendiri. Kemudian kita juga terus menjadi diri kita sendiri. Jangan karena kita dihina orang lain, kita diolok-olok orang lain, maka kita merubah apa yang menjadi kebiasaan kita. dan yang paling penting adalah hindari orang-orang yang menjadi toxic buat kita,” jelasnya.
Terkait peristiwa mengenaskan yang terjadi di Deli Serdang, Lisa menduga bahwa peristiwa tersebut pasti ada pemicu terlebih dahulu. “Jadi mungkin bisa jadi ada rasa tidak nyaman, rasa tidak suka kepada orang tua si anak atau si korban. Rasa yang sudah dipendam sekian lama, dan pada saat ada pemicu yang sedikit saja, ini membuat dia bereaksi, menjadi emosi yang tidak terkendali sehingga dia tidak sadar bahwa apa yang dia lakukan itu sudah melanggar norma sosial, dan juga melanggar hukum. Itu salah satu contoh,” ujarnya.
Lisa mengingatkan agar menjadi orang dewasa bukan hanya secara usia, tetapi juga secara emosional. “Jadi kalau orang dewasa itu bisa mengendalikan emosinya dengan cara apa? Dengan cara mungkin mereka mengalihkan hal-hal yang tidak nyaman untuk ke hal-hal yang lebih nyaman,” pungkasnya.