Lumpur Masih Menelan Nyawa, Gubernur Masih Menelan Ego

Lumpur Masih Menelan Nyawa, Gubernur Masih Menelan Ego

Kegagalan Tata Kelola Penanggulangan Bencana

Bencana alam yang terjadi di Sumatera Utara kali ini menyayatkan duka sangat dalam. Polda Sumatera Utara merilis, sejak 24 hingga 29 November 2025, jumlah korban mencapai 1.076 orang, 147 diantaranya meninggal dunia, 32 luka berat, 722 luka ringan dan 174 masih dalam pencarian, serta 28.427 terpaksa meninggalkan rumah.

Sejak 24 hingga 29 November 2025, tercatat 488 kejadian bencana alam meliputi tanah longsor, banjir, pohon tumbang dan angin puting beliung yang tersebar di 21 wilayah kabupaten/kota di Sumatera Utara.

Jika direnungkan lebih dalam, krisis ini bukan semata-mata bencana alam, melainkan juga cerminan dari kegagalan sistemik tata kelola penanggulangan bencana di tingkat kabupaten/kota bahkan provinsi.

Mencermati kondisi dilapangan, mulai dari masih banyaknya korban yang belum ditemukan, keterbatasan logistik dan alat penunjang, hingga pada ancaman krisis bahan pokok akibat jalur distribusi yang sangat terbatas. Jika merujuk pada kerangka hukum yang berlaku, keadaan ini sudah menunjukkan bahwa kapasitas Pemerintah Provinsi Sumatera Utara telah melampaui batas kemampuannya.

Dari kerangka hukum penanggulangan bencana di Indonesia, diketahui terdapat dua status bencana, yaitu:

  1. Bencana Daerah: ditetapkan oleh kepala daerah apabila jumlah korban, kerugian harta benda, atau luas cakupan wilayah masih dapat ditangani dengan kemampuan daerah; dan
  2. Bencana Nasional: ditetapkan oleh Presiden atas usul Gubernur apabila bencana melebihi kemampuan daerah, baik dari sisi jumlah korban, kerugian ekonomi, maupun luasnya dampak lintas provinsi. Pada penetapannya, Gubernur wajib mengusulkan penetapan status bencana nasional kepada Presiden apabila terdapat indikasi bahwa kemampuan daerah telah terlampaui. 

Mengapa Status Bencana Nasional Menjadi Keharusan?

Penetapan status bencana nasional pada bencana yang terjadi di Provinsi Sumatera Utara, Aceh dan Sumatera Barat ini akan memberikan konsekuensi hukum dan operasional yang signifikan. Mulai dari mobilisasi sumber daya TNI/Polri dan BNPB secara penuh; Pengambilalihan koordinasi oleh BNPB yang akan menghilangkan bottleneck birokrasi daerah.

Adapun konsekuensi lain adalah akses terhadap Dana Siap Pakai (DSP) BNPB dan dana tanggap darurat dari APBN tanpa harus menunggu revisi APBD; dan kemungkinan penyaluran bantuan internasional melalui mekanisme one-gate policy yang lebih terkoordinasi.

Penundaan penetapan status ini, dengan alasan apapun, pada hakikatnya merupakan bentuk pengabaian terhadap prinsip negara hadir dalam keadaan darurat (the duty to protect) sebagaimana diamanatkan Pasal 28 I ayat (4) UUD 1945.

Kesimpulan dan Rekomendasi

Di Sumatera Utara, realita menunjukkan bahwa kemampuan Pemerintah Provinsi Sumatera Utara—baik dari sisi finansial, logistik, maupun koordinasi—telah melampaui batas daya dukungnya.

Mengedepankan ego kedaerahan dalam situasi yang mengancam nyawa puluhan hingga ratusan warga merupakan tindakan yang tidak dapat lagi dibenarkan secara moral maupun hukum.

Oleh karena itu, kepada Gubernur Sumatera Utara, Bapak Bobby Nasution, sesuai kewenangan dan kewajiban yang diatur dalam Undang-Undang tentang Penanggulangan Bencana, bergegaslah mengajukan usulan tertulis kepada Presiden Republik Indonesia agar bencana yang melanda Sumatera Utara ini ditetapkan sebagai bencana nasional.

Hanya dengan langkah tersebut, pencarian ratusan korban yang belum ditemukan dapat dipercepat, distribusi bantuan dapat dilakukan dengan lebih cepat, merata dan tepat sasaran, serta proses pemulihan pasca-bencana dapat segera dimulai dengan skala dan kecepatan yang layak diterima oleh rakyat yang sedang menderita.

Pak Gubernur, waktu bukan lagi sekadar berjalan; ia telah berlari meninggalkan mereka yang masih menanti pertolongan di bawah reruntuhan dan lumpur, setiap jam yang dibiarkan lewat tanpa keputusan yang tepat adalah satu lagi nafas yang terputus, satu lagi do’a yang tak terjawab di bawah langit Sumatera yang kelam ini.

Gubernur Sumut yang terhormat, jangan lagi bersembunyi di balik alasan “kami masih bisa menangani sendiri." Kedaerahan bukan lagi kebanggaan - ia telah menjadi liang kubur bagi korban yang namanya kini hanya tinggal angka di laporan. Serahkan egomu kepada yang lebih besar dari dirimu: kepada kemanusiaan, kepada negara, kepada Pemimpin Republik ini.

Tolong, ajukan segera status bencana nasional itu, atau selamanya tercatat dalam sejarah bahwa kita lebih memilih marwah jabatan di atas nyawa rakyat.

Karena di akhir hari, ketika air surut dan lumpur mengering, yang tersisa bukanlah alasan birokratis atau prestise daerah, melainkan jeritan bisu dari ibu yang tak lagi menemukan anaknya, dari anak yang memanggil-manggil ayah di antara reruntuhan yang tak pernah digali tuntas, dari jelata yang bertanya; “Dimanakah negara saat kami sangat membutuhkannya?”

Jangan biarkan Sumatera Utara menjadi monumen kegagalan. Serahkan tanganmu kepada Presiden, sekarang juga - sebelum detik berikutnya menambah satu lagi nama ke daftar yang tak pernah ingin kita baca.

Padangsidimpuan, 30 November 2025
Ditulis oleh: Bob Nasution (Alumnus Universitas Muhammadiyah Tapanuli Selatan)