Pawai Obor: Refleksi Perlawanan Atas Ketidakadilan
Oleh: Zulkarnain, M.Sos

Pawai Obor adalah kegiatan kolosal warga kota Medan untuk menyambut bulan suci Ramadhan. Aktivitas tersebut dilaksanakan gabungan beberapa ormas Islam. Pawai Obor bukanlah peristiwa tunggal. Ia merupakan bagian tak terpisahkan dari sejarah Aksi Bela Islam oleh aktivis Sumatera Utara. Di mulai sejak Ramadhan 2017, hingga kini tetap diminati antusias oleh masyarakat, terutama kalangan muda Gen-Z. Ada ribuan remaja, orang tua, bahkan anak-anak tumpah ruah di jalanan pada malam hari dengan api-obor yang menyala, simbol semangat perlawanan sebagai warisan posistif keumatan.
Kilas Sejarah
Sejarah merupakan rangkaian peristiwa yang terjadi pada siklus kehidupan manusia. Setiap bagian peristiwa menghadirkan tokoh sebagai pelaku, subjek atau pun objek sejarah. Dari sekian segmentasi kehidupan, peristiwa social- politik mengambil porsi terbesar. Pasca reformasi, tahun 2014, menjadi titik awal transformasi politik Islam, dari islamisme menuju post islamisme. Titik transformasi tersebut dimulai dari rezim Jokowi dukungan PDIP. Api perlawanan dipercikan Ahok penista agama, Gubernur DKI pengganti Jokowi, dan kader PDIP, kemudian membakar umat. Sikap Jokowi yang dianggap anti Islam, dan berbagai kebijakannya yang menyulitkan umat Islam, mendorong umat membentuk barisan oposisi, menjadi kekuatan ekstra parlementer melawan rezim Jokowi.
Tokoh dan Peristiwa
Sejarah melahirkan momen, dan momen memunculkan tokoh. Sejarah Bela Islam memunculkan banyak tokoh di Sumatera Utara. Ada yang telah berpulang kerahmatullah, dan sebagiannya hingga kini tetap berkecimpung dalam berbagai aktivitas keumatan. Almarhum Buya Leo Imsar Adnan dan almarhum Rabu Alam, merupakan tokoh yang terlibat Aksi Bela Islam dan juga di antara inisiator Pawai Obor. Tokoh senior lain seperti Haji Irfan, Masri Sitanggang, Ade Marlan, Affan Lubis, Sahbana, Ustad Latif Khan, Ustad Mukhlis, Ustad Heriansyah, Buya Rafdinal, Ustad Aidan Nazwir, Tumpal Pangabean, Ahsanul Fuad, Azhar, Indra Tanjung, Ade Lemana, Irwansyah Gultom, dan aktivis muda Rahmat Gustin, Afrian, Khalid Subrata, Hendra, Adenk. Kalangan akhwat ada Bunda Roni, Rina Suwito, dan ratusan tokoh lain yang tak tersebutkan. Tokoh-tokoh tersebut adalah mujahid yang telah menorehkan jasanya pada Islam, mulai dari pembelaan masjid melawan oligarki dan kapitalis penghancur, isu sosial dan HAM. Mereka para pendiri GAPAI yang kemudian bertransformasi menjadi GNPF-Ulama. Mereka semua tokoh hebat yang dihadirkan sejarah dan patut dihargai.
Idealisme Kontra Kepentingan
Tidak semua rintik hujan merupakan air murni. Tentu ada tetesan yang terkontaminasi oleh percikan debu akibat polusi udara. Idealisme adalah awal yang menyatukan. Dan idealisme pembelaan Islam melawan ketidakadilan, merupakan kekuatan dasyat yang mampu mengantarkan manusia pada panggung sejarah tokoh pejuang. Tetapi perjalanan sejarah yang panjang dan berliku, penuh onak dan duri sangat sulit dilalui. Situasi yang menyebabkan manusia berfikir ulang, bertahan atau mundur dari arena. Di samping adanya faktor perbedaan persepsi, pandangan politik, dan kepentingan pragmatis. Semuanya merupakan batu ujian dan tantangan yang mereduksi, membuat lemah dan mengeleminasi siapa saja yang akhirnya memilih jalan berbeda atau kalah.
Saatnya Bersatu Untuk Indonesia
Banyak di antara tokoh awalnya berkecimpung di bidang sosial-religius, dalam istlah sosioligis disebut islamisme. Tetapi ranah politik memberi pengaruh kuat pada pilihan perjuangan. Sejak rezim Jokowi menganeksasi kedaulatan negara di tengah perjuangan bangsa menghadirkan keadilan, umat Islam terpanggil untuk terlibat dalam persoalan politik. Kemunculan aktivis Islam yang sebelumnya alergi politik di panggung sejarah, aksi demo berjilid-jilid, dan fatwa Jihad politik, merupakan sinyal kuat transformasi islamisme menuju post islamisme. Tokoh-tokoh Islam yang pada tahun 2014 dan 2019 mendukung penuh Prabowo, kini beralih mendukung Anis, adalah pertanda kedewasaan politik. Bahwa pilihan politik bukan lah soal figur, tapi soal idealisme.
Dukungan pada Anis karena dipandang dapat menampung aspirasi Islam. Dan penolakan pada Prabowo karena dianggap perpanjangan kepentingan Jokowi yang didukung oligarki. Meski langkah politik ini masih debat-table, tetapi sikap dan kebijakan Prabowo yang inkonsisten, menjadi alasan utama umat menempuh jalan oposisi. Pilihan politik ini, meski beririsan dengan kepentingan politik PDPI, tapi umat tidak pernah lupa, bahwa PDIP punya andil besar dan bertanggung jawab telah menghadirkan rezim Jokowi dan antek-anteknya merusak Indonesia.
Api Pawai Obor tetap menyala, pertanda perjuangan masih bergelora. Ada yang menyebut api sebagai tradisi Majusi, sementara ketua MUI Medan menyebutnya bid’ah hasanah. Tetapi dalam perspektif sosial-politik, Pawai Obor adalah salah satu cara mengumpulkan umat dengan semangat menyala, kebangkitan menuju kemenagan Islam. Perbedaan adalah keniscayaan, persatuan merupakan panggilan Ilahi. Mempertahankan Indonesia adalah kewajiban agama.
Binjai, 23 Pebruari 2025
Penulis adalah pengamat Sosial-politik