GHURUR: ILUSI KEBAIKAN YANG MENYESATKAN

GHURUR: ILUSI KEBAIKAN YANG MENYESATKAN

Oleh: Andri Saputra Lubis, M.Psi
_________

Manusia sering kali terjebak dalam keyakinan bahwa dirinya telah menjadi pribadi yang baik, baik dalam aspek ibadah, tingkah laku, maupun pengetahuan. Keyakinan ini terlihat mulia, tetapi bila tidak disertai dengan kejujuran batin, ia dapat berubah menjadi gangguan jiwa yang disebut ghurur. Dalam tradisi Islam, sebuah ilusi halus yang menipu jiwa namun sangat berbahaya. Ghurur membungkus perasaan seseorang dengan rasa puas yang palsu, seolah telah mencapai tingkatan tertentu, padahal sebenarnya ia hanya terperangkap dalam bayang-bayang dirinya sendiri.

Beberapa ulama besar seperti Imam al-Ghazali menjelaskan, bahwa ghurur adalah bentuk kelalaian dalam hati yang sangat halus dan sulit disadari. Seseorang yang mengalami ghurur sering kali merasa amal ibadahnya sudah sempurna dan dirinya suci, padahal sebenarnya ada unsur kesombongan yang tersembunyi dalam lubuk hatinya. Ia cenderung menilai dirinya lebih baik dari orang lain, hingga menolak masukan dan sulit melakukan refleksi diri.

Ibnu Qayyim al-Jauziyah menegaskan bahwa ghurur merupakan penyakit jiwa yang mampu merusak nilai amal seseorang. Orang yang terperangkap dalam kondisi ini kerap merasa aman dan cukup dengan usahanya sendiri, sehingga sulit untuk diberi peringatan atau disadarkan, karena mereka telah terjebak dalam kesan kebaikan yang semu.

Sementara itu, Imam Ibn ‘Ataillah as-Sakandari mengingatkan, bahwa salah satu ciri orang yang tertipu oleh dirinya sendiri adalah ketika dia menggantungkan keselamatan hanya pada amal tanpa didasari keikhlasan yang sejati. Dia juga menekankan bahwa rasa cukup terhadap amal tanpa sikap rendah hati di hadapan Allah merupakan tanda nyata dari ghurur.

Dalam psikologi kontemporer, istilah penipuan diri (self-deception) merujuk pada proses mental di mana seseorang tanpa disadari membujuk dirinya untuk percaya pada sesuatu yang sebenarnya tidak benar. Hal ini dilakukan sebagai cara untuk mempertahankan citra dirinya, dan menghindari perasaan tidak nyaman yang timbul akibat menghadapi kenyataan yang menyakitkan atau merugikan ekspektasi dirinya.

Perilaku ghurur dapat dikenali melalui beberapa tanda.  Beberapa diantaranya adalah individu yang mengalami ghurur sering merasa dirinya sudah suci dan lebih mulia dari orang lain, sehingga menolak koreksi dan kritik. Mereka juga sering mengabaikan kekurangan dan kesalahan yang mereka miliki, padahal kesadaran akan hal tersebut penting untuk perbaikan diri. Selain itu, sikap sombong dan angkuh juga sering menyertai, di mana orang tersebut merasa lebih unggul dan merendahkan orang lain, yang pada akhirnya merusak hubungan sosial maupun spiritual.

Lebih jauh, mereka yang mengalami ghurur seringkali membesar-besarkan amal dan pencapaiannya, sehingga merasa sudah cukup dan tidak perlu berusaha lebih baik lagi. Penolakan terhadap kritik dan saran pun menjadi hal yang biasa, karena merasa sudah sempurna dan tidak butuh perubahan. Bentuk ghurur yang paling berbahaya adalah ketika seseorang terlalu mengandalkan usahanya sendiri, tanpa mengingat bahwa segala keberhasilan sejatinya adalah karunia dari Allah SWT. Sikap ini menunjukkan kurangnya kerendahan hati (tawadhu’) dan ketergantungan yang kuat kepada Sang Pencipta.

Orang yang mengalami penipuan diri cenderung menolak fakta atau informasi, yang bertentangan dengan pandangan positif yang sudah mereka pegang tentang dirinya sendiri. Fenomena ini dikenal sebagai bias konfirmasi (confirmation bias), yaitu kecenderungan untuk lebih mudah menerima dan mengingat informasi yang menguatkan pandangan yang sudah ada, sementara mengabaikan data atau kritik yang justru menantang keyakinan tersebut. Misalnya, seseorang yang yakin telah mencapai keberhasilan besar, akan menolak kritik yang meragukan pencapaiannya demi mempertahankan citra dirinya.

Selain itu, terdapat pula konsep keunggulan ilusif (illusory superiority), yakni kecenderungan untuk menilai diri sendiri lebih baik atau lebih mampu daripada yang sebenarnya terjadi. Ini merupakan salah satu bentuk distorsi dalam cara berpikir, di mana penilaian terhadap diri sendiri menjadi tidak objektif dan terlalu tinggi. Bias ini bisa muncul dalam berbagai aspek, seperti kemampuan akademik, kepribadian, atau moralitas.

Distorsi seperti ini berpotensi menghalangi seseorang untuk terbuka terhadap kritik atau evaluasi diri yang jujur, sehingga menghambat proses pertumbuhan dan pembelajaran. Secara keseluruhan, mekanisme seperti penipuan diri, bias konfirmasi, dan keunggulan ilusif saling berinteraksi dan memperkuat satu sama lain, menciptakan sebuah pola pikir yang membuat individu terperangkap dalam persepsi positif palsu tentang dirinya sendiri. Hal ini sangat paralel dengan konsep ghurur dalam psikologi Islam, di mana seseorang tertipu oleh persepsi semu terhadap diri yang membuatnya merasa cukup dan mulia, padahal sebenarnya terperangkap dalam tipu daya nafsu.

Dalam kerangka psikologi Islam, ghurur muncul sebagai akibat dari dominasi nafs ammarah, yaitu dorongan kejiwaan yang mendorong manusia kepada keburukan dan kecenderungan untuk tertipu oleh dirinya sendiri. Ketika dorongan ini mengambil alih kendali diri, maka hati (qalb)sebagai pusat kesadaran spiritual, kehilangan kejernihannya dan tertutup dari bimbingan Ilahi. Kondisi seperti ini sering kali membuat seseorang merasa telah mencapai tingkatan moral atau spiritual tertentu, padahal penilaiannya bersifat subjektif dan bisa menyesatkan. Perasaan telah menjadi pribadi yang suci dan benar justru dapat menjebak individu dalam keangkuhan tersembunyi, yang pada akhirnya menghalangi pertumbuhan ruhani dan evaluasi diri yang jujur. 

Dalam tradisi pemurnian jiwa, ghurur dipandang sebagai hambatan serius yang menghalangi perjalanan spiritual, karena menumbuhkan ilusi kebaikan yang tidak berlandaskan pada kesadaran hakiki, melainkan pada persepsi diri yang keliru. Oleh karena itu, penting bagi setiap individu untuk senantiasa melakukan refleksi batin dan mengembangkan kesadaran diri secara objektif agar tidak larut dalam jebakan keakuan dan kesombongan halus. Al-Qur’an telah menegaskan agar manusia tidak menyucikan dirinya sendiri (menganggap dirinya suci) karena hanya Allah yang mengetahui siapa yang benar-benar bertakwa (QS. An-Najm: 32).

Fenomena ini sangat berbahaya dalam berbagai lini kehidupan, termasuk dalam kepemimpinan, pendidikan, dan kehidupan sosial. Pemimpin yang merasa paling bijak akan menolak kritik, guru yang merasa paling berilmu enggan belajar lagi, Bahkan seorang tokoh agama dapat terjebak dalam keyakinan bahwa dirinya adalah yang paling suci, yang akhirnya membuatnya selalu memandang orang lain dengan penuh kehinaan. Kondisi ini merupakan salah satu bentuk nyata dari ghurur, yaitu kekeliruan dalam menilai diri yang mendorong seseorang membangun citra kemuliaan di atas dasar yang rapuh dan menyesatkan. Dalam keadaan demikian, sikap keberagamaan menjadi kehilangan esensinya karena lebih banyak didorong oleh kesombongan terselubung daripada ketulusan dan ketundukan spiritual yang sejati.

Untuk itu, refleksi diri (self-awareness) menjadi penawar yang utama. Dalam Islam, ini dikenal sebagai muhasabah, merenungi kembali niat dan tindakan yang telah dilakukan, dengan penuh kejujuran dan ketundukan kepada Allah. Dalam pendekatan psikologi modern, kesadaran diri juga menjadi inti dari proses terapi dan pertumbuhan psikologis. Praktik seperti mindfulness dan cognitive restructuring digunakan untuk mengoreksi pola pikir keliru dan meningkatkan penerimaan terhadap realitas.

Ghurur bukan hanya persoalan spiritual, tetapi juga berkaitan erat dengan kesehatan mental dan pembentukan kepribadian. Ia dapat menghambat proses aktualisasi diri (self actualization) karena seseorang merasa telah selesai, padahal dalam kenyataannya masih jauh dari tujuan. Bahkan, dalam istilah spiritual, ghurur bisa membuat seseorang berhenti mendekat kepada Tuhan, karena merasa dirinya sudah sangat dekat.

Perjalanan membersihkan diri dari ghurur merupakan bagian dari jihad jiwa yang paling mendasar. Ini bukan tentang menaklukkan orang lain, tetapi tentang menundukkan ego dan menyingkap tipuan yang tersembunyi dalam diri sendiri. Hanya dengan kejujuran batin, kerendahan hati, dan keterbukaan terhadap koreksi, seseorang dapat terus tumbuh dan tidak terjebak dalam ilusi kebaikan.

Kesadaran akan keberadaan ghurur menjadi landasan penting untuk menjaga keseimbangan antara upaya maksimal dan sikap rendah hati (tawadhu,), sekaligus memperkuat ketergantungan kepada Allah SWT. Dengan memahami secara mendalam keterbatasan diri dan mengakui bahwa segala pertolongan berasal dari-Nya, seseorang dapat terhindar dari perangkap kesombongan yang berbahaya. Dari pemahaman ini, individu akan terus berkembang menjadi pribadi yang lebih matang dan harmonis, baik secara psikologis maupun spiritual. Oleh karena itu, perjuangan melawan ghurur merupakan sebuah jihad batin yang melibatkan penaklukan ego dan nafsu yang menipu, yang memerlukan kesabaran, kejujuran dalam hati, serta kesiapan untuk terbuka menerima kebenaran dan memperbaiki diri secara berkelanjutan.


_____________
Penulis adalah Mahasiswa Doktoral UIN Sumatera Utara, Dosen STAI Raudhatul Akmal, Kepala Penjamin Mutu Ponpes Darul Adib, dan Pimpinan Rumah Tahfizh Al-Munif Medan.