Mandeknya Penanganan 6 Kasus Penistaan Agama di Polda Sumut: Sebuah Tanda Bahaya Penegakan Hukum?

Mandeknya Penanganan 6 Kasus Penistaan Agama di Polda Sumut: Sebuah Tanda Bahaya Penegakan Hukum?

Medan, poindonews.com | 1 Juni 2025 – Kasus dugaan penistaan agama yang dilaporkan sejak beberapa bulan Oktober 2024 ke Kepolisian Daerah Sumatera Utara (Polda Sumut) kini menuai sorotan tajam. GAPAI Sumut mengumumkan rencana aksi besar-besaran yang akan melibatkan ribuan massa jika laporan tersebut tak segera diproses secara transparan dan adil. Kemandekan penanganan kasus ini tak hanya menimbulkan kekecewaan di tengah umat, tetapi juga menimbulkan pertanyaan serius terkait keberpihakan dan integritas aparat penegak hukum.

Kasus ini bermula dari unggahan kontroversial seorang warga yang dianggap menghina simbol-simbol agama Islam dan beberapa orang lainnya Unggahan tersebut memicu kemarahan publik dan laporan resmi pun diajukan oleh GAPAI Sumut ke Polda Sumut. Namun, hingga kini belum ada perkembangan signifikan yang diumumkan ke publik, termasuk penetapan tersangka atau pemanggilan saksi secara terbuka.

GAPAI Sumut menyatakan bahwa mereka telah cukup bersabar. Dalam pernyataannya, mereka menuding aparat lamban dan tak transparan. “Jika dalam waktu dekat tidak ada kejelasan, kami akan turun ke jalan dengan ribuan massa,” ujar Ketua Gapai Sumut Rahmad Gustin yang didampingi oleh didampingi Sekretaris GAPAI Sumut Wisyral serta anggota Agung dan Maliki, kepada wartawan, di Mabes GAPAI Sumut, kawasan Jalan Jermal Medan. Aksi ini diklaim akan berlangsung damai, namun dalam jumlah besar sebagai bentuk tekanan moral dan politik terhadap aparat penegak hukum.

Fenomena laporan penistaan agama yang berujung pada ketidakjelasan proses hukum bukanlah hal baru di Indonesia. Beberapa kasus serupa sebelumnya juga mengalami nasib yang sama terkendala karena tekanan politik, tarik-menarik kepentingan, atau bahkan faktor diskriminatif.

Situasi ini mencerminkan dua hal: pertama, ketidakmampuan aparat dalam menangani isu-isu sensitif secara profesional; kedua, potensi politisasi hukum yang menggerogoti kepercayaan publik. Ketika hukum hanya berjalan jika ada tekanan massa, maka sistem hukum itu sendiri patut dipertanyakan keberdayaannya.

Di sisi lain, aksi ribuan massa dengan narasi “pembelaan agama” bisa menjadi pisau bermata dua. Bila tidak dikelola dengan bijak dan tidak berbasis data serta hukum yang kuat, aksi seperti ini rentan disusupi kepentingan lain, bahkan bisa dimanfaatkan untuk memperkuat polarisasi sosial.

Ketegasan hukum yang tak memihak adalah kunci utama agar masyarakat tak mengambil jalan sendiri-sendiri. Jika keadilan tak hadir melalui institusi resmi, maka ruang jalanan akan menjadi alternatif sebuah kondisi yang sangat berisiko dalam sistem demokrasi.

Kasus ini menjadi ujian bagi Polda Sumut, juga bagi institusi penegakan hukum di Indonesia secara keseluruhan. Mampukah mereka menempatkan hukum sebagai instrumen keadilan, atau justru menyerah pada tekanan politik dan kalkulasi keamanan semata?

Yang dibutuhkan kini bukan hanya proses hukum yang berjalan, tetapi juga komunikasi yang terbuka kepada publik. Masyarakat berhak tahu apa kendala dalam proses ini, dan kapan kejelasan akan diberikan. Sebab jika tidak, suara ribuan di jalan akan menjadi simbol kegagalan diamnya hukum di meja aparat.