TAFAKKUR DAN KESEHATAN MENTAL: DIMENSI PSIKOLOGIS DALAM SURAT ALI 'IMRAN AYAT 190–191
Oleh : Andri Saputra Lubis, M.Psi
__________________
Di tengah kehidupan modern yang dipenuhi tantangan dan tekanan, banyak orang merasa kehilangan arah, mencari makna hidup yang lebih damai dan bahagia. Dalam situasi ini, Al-Qur’an hadir dengan solusi yang tidak hanya relevan, tetapi juga penuh kebijaksanaan. Salah satu ayat yang merangsang kita untuk selalu berpikir dan merenung adalah QS. Ali ‘Imran: 190–191, yang memperkenalkan konsep Ulul Albab, manusia berakal yang mengaitkan proses berpikir dengan kesadaran spiritual yang mendalam.
“Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, dan pergantian malam dan siang terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang berakal. (yaitu) orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri, duduk, atau berbaring dan mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi (seraya berkata): ‘Ya Tuhan kami, tidaklah Engkau menciptakan ini dengan sia-sia. Maha Suci Engkau, maka peliharalah kami dari siksa neraka (QS. Ali 'Imran: 190–191).
Ayat ini mengajak umat manusia untuk melibatkan akal dan hati dalam proses berpikir dan merenung. Al-Qur’an menekankan pentingnya berpikir yang mendalam, bukan hanya untuk memahami dunia, tetapi untuk mengetahui Kebesaran dan kekuasaan Tuhan. Ulul Albab mengajarkan kita bahwa berpikir adalah sebuah ibadah, dan setiap pemikiran yang dilandasi dengan rasa syukur dan kesadaran akan Tuhan akan memberikan kedamaian batin. Dengan berpikir, kita dapat memahami ayat qauliyah dan ayat kauniyah, ayat yang termaktub dalam kitab Wahyu, dan ayat yang tersirat dalam penciptaan alam semesta.
Pemikiran ini sangat relevan dengan psikologi modern, yang kini semakin menyadari pentingnya dimensi spiritual dalam mendukung kesejahteraan mental. Banyak pendekatan psikologi kontemporer yang mulai mengakui bahwa kesehatan mental bukan hanya soal pengelolaan stres, tetapi juga tentang hubungan manusia dengan makna hidup yang lebih besar.
Dalam ranah psikologi kognitif, kita diajak untuk memahami bahwa pikiran kita membentuk perasaan dan tindakan. Apa yang kita pikirkan akan mempengaruhi bagaimana kita merasakan dunia dan diri kita sendiri. QS. Ali ‘Imran: 190–191 menggambarkan hal ini dengan jelas: manusia yang berpikir tentang alam semesta dan merenung bahwa ciptaan Tuhan tidaklah sia-sia. Ini sangat selaras dengan pendekatan seperti Cognitive Behavioral Therapy (CBT) yang menekankan pentingnya mengubah pola pikir negatif untuk mencapai keseimbangan mental.
Refleksi yang disebutkan dalam ayat ini dapat dilihat sebagai suatu bentuk kognisi spiritual, di mana proses berpikir diarahkan untuk memahami makna yang lebih dalam dari hidup dan penciptaan. Penelitian juga menunjukkan bahwa orang yang memiliki kebiasaan merenung dan merefleksikan hidup mereka secara positif cenderung memiliki kesejahteraan mental yang lebih baik.
Dalam psikologi eksistensial, yang banyak dipelopori oleh tokoh seperti Viktor Frankl, ditekankan bahwa pencarian makna hidup adalah kunci untuk mencapai kesehatan jiwa yang optimal. Seringkali, penderitaan dan kebingungan hidup datang ketika seseorang kehilangan makna dalam hidupnya. Ayat yang menyebutkan "Tidaklah Engkau menciptakan ini dengan ssia-sia", mengajak kita untuk melihat setiap aspek hidup dengan kesadaran bahwa semuanya memiliki tujuan dan makna, apapun yang terjadi, bagaimanapun garis hidup yang kita jalani, pasti memiliki rahasia dan hikmah dibaliknya. Yang membuat kita selalu memiliki harapan hidup yang positif, yang pada akhirnya membuat kita selalu berserah diri kepada Allah SWT.
Frankl berpendapat bahwa makna hidup adalah salah satu elemen terpenting dalam menjaga kesehatan mental. QS. Ali ‘Imran memberikan perspektif yang serupa, di mana pencarian makna hidup, melalui refleksi atas ciptaan Tuhan, memberikan rasa damai yang mendalam, bahkan di tengah tantangan dan kesulitan yang kita hadapi.
Dalam psikologi Islam, manusia dipandang sebagai kesatuan antara tubuh, akal, hati, dan jiwa. Ayat ini menekankan bahwa kesehatan mental yang sesungguhnya tercapai ketika akal dan hati berjalan seiring, dengan akal yang berpikir dan hati yang merasa serta selalu mengingat Tuhan. Tafakkur dan dzikir yang disebutkan dalam ayat ini adalah proses yang tidak hanya melibatkan kecerdasan intelektual, tetapi juga kesadaran spiritual yang mendalam.
Zikir yang dilakukan dalam berbagai posisi, seperti berdiri, duduk, atau berbaring, merupakan refleksi dari kesadaran spiritual yang terus-menerus (muraqabah), sementara tafakkur adalah aktivitas mental yang mendalam dan terarah. Dalam psikologi Islam, ini adalah gambaran manusia yang sehat secara utuh: akalnya berfungsi dengan baik, hatinya tenang, dan jiwanya penuh dengan ketenangan.
Di tengah meningkatnya tingkat kecemasan dan depresi di berbagai kalangan masyarakat modern, QS. Ali ‘Imran: 190–191 memberikan panduan yang sangat relevan. Ayat ini mengajarkan kita bahwa kesehatan mental tidak hanya didapatkan dari manajemen stres, tetapi juga dari pencarian makna yang mendalam dalam hidup.
Konsep mindfulness dalam psikologi modern yang mendorong seseorang untuk hadir sepenuhnya dalam setiap momen (now and here), menemukan ketenangan melalui perhatian penuh, sangat sejalan dengan apa yang diajarkan dalam zikir dan tafakkur. Berbagai studi juga menunjukkan bahwa praktik refleksi yang dipadukan dengan kesadaran spiritual dapat meningkatkan kesejahteraan fisik dan mental seseorang.
QS. Ali ‘Imran: 190–191 mengajarkan kita bahwa berpikir dan merenung bukan hanya soal pengetahuan, tetapi juga soal kesadaran bahwa hidup ini memiliki tujuan yang lebih tinggi. Ulul Albab, manusia berakal yang dimaksud dalam ayat ini, adalah sosok yang menggabungkan kecerdasan intelektual dan kedalaman spiritual. Mereka adalah contoh nyata bagaimana manusia bisa utuh dalam seluruh dimensi keberadaannya, menciptakan kedamaian batin, serta memberi kontribusi positif dalam masyarakat.
Di era yang serba cepat ini, saat manusia sering terjebak dalam rutinitas tanpa makna, QS. Ali ‘Imran: 190–191 mengajak kita untuk berhenti sejenak, memperhatikan alam sekitar, sambil merenung dan bertanya pada diri sendiri: “Apa tujuan saya diciptakan ke dunia ini? ” Perenungan ini adalah langkah pertama untuk menemukan kedamaian dan makna sejati. Dalam kesadaran itulah, manusia dapat kembali menemukan keseimbangan dalam hidupnya, tidak hanya secara mental, tetapi juga spiritual.
__________________
Penulis adalah mahasiswa Doktoral di UIN Sumatera Utara, Dosen STAI Raudhatul Akmal, dan Penjaminan Mutu Ponpes Darul Adib Medan







Islahuddin