TAZWIZ AL-FIKR: KETIKA PIKIRAN UMAT TERJAJAH

TAZWIZ AL-FIKR: KETIKA PIKIRAN UMAT TERJAJAH


Oleh : Andri Saputra Lubis, M.Psi

__________


Di tengah derasnya arus informasi dan derasnya penetrasi ideologi global, umat Islam menghadapi tantangan yang tidak kasat mata namun berdampak besar: tazwiz al-fikr. Istilah ini merujuk pada kekacauan dalam sistem berpikir, yakni ketika pikiran umat Islam dipenuhi oleh nilai-nilai asing yang tidak selalu selaras dengan ajaran wahyu, hingga menyebabkan hilangnya kejelasan, arah, dan keutuhan cara pandang.

Fenomena ini tidak hanya berkaitan dengan pengetahuan atau ide, melainkan juga menyentuh ranah psikologis dan spiritual. Di banyak ruang, kita melihat kecenderungan di mana umat merasa religius secara formal, namun dalam praktik hidupnya kehilangan kepekaan terhadap nilai-nilai yang mereka imani. Dalam suasana seperti ini, keutuhan berpikir yang seharusnya bersandar pada wahyu dan akal yang jernih mulai terkikis.

Dalam psikologi Islam, manusia tidak hanya dipahami sebagai makhluk biologis atau sosial, melainkan juga spiritual. Elemen seperti akal (‘aql), hati (qalb), jiwa (nafs), dan ruh berperan penting dalam membentuk cara berpikir dan merespons kehidupan. Ketika relasi antara unsur-unsur ini rusak, maka pikiran yang dihasilkan pun menjadi lemah atau bahkan menyimpang. Akal yang tidak terarah oleh nilai ilahiyah menjadi rentan terhadap kebingungan, manipulasi, dan hawa nafsu.

Pemikir klasik seperti Imam al-Ghazali memaparkan, bahwa akal tidak dapat berdiri sendiri sebagai penentu kebenaran, jika tidak dituntun oleh cahaya hidayah. Menurutnya, orang yang cerdas secara intelektual tidak otomatis dapat menemukan hikmah. Banyak yang jatuh dalam kekeliruan karena mengandalkan logika duniawi tanpa kepekaan batiniyah.

Senada dengan itu, Ibn Qayyim al-Jawziyyah melihat bahwa penyakit dalam hati sering kali menjadi pangkal munculnya kekeliruan dalam berpikir. Dalam pandangannya, hati yang terselimuti keraguan, cinta dunia yang berlebihan, dan ketergantungan pada akal egoistik akan kehilangan kemampuannya untuk mengenali kebenaran yang sejati.

Lebih jauh, Syed Muhammad Naquib al-Attas seorang pemikir Islam kontemporer, menegaskan bahwa salah satu bentuk penjajahan paling membahayakan umat hari ini adalah penjajahan terhadap pola pikir. Dalam bukunya Islam and Secularism, ia menguraikan bahwa umat Islam telah mengalami disorientasi intelektual akibat masuknya nilai-nilai asing secara masif, tanpa upaya penyaringan atau kontekstualisasi dalam kerangka Islam. Umat akan kehilangan kemampuan untuk berpikir secara mandiri dan menyeluruh berdasarkan ajaran Islam.

Dalam tradisi psikologi modern, kerusakan cara berpikir ini dapat dikaitkan dengan apa yang disebut sebagai cognitive distortion atau gangguan dalam pola berpikir. Tokoh seperti Aaron T. Beck menjelaskan bahwa banyak gangguan kejiwaan timbul karena kesalahan berpikir yang terus berulang, seperti menyimpulkan sesuatu tanpa dasar, memandang segala sesuatu secara hitam-putih, atau membesar-besarkan hal kecil.

Kondisi ini tampak jelas pada fenomena umat yang menilai agamanya melalui lensa opini publik, tren media sosial, atau narasi yang populer, bukan dari pemahaman mendalam terhadap ajaran Islam. Ketika akal tidak didukung oleh prinsip yang kuat, maka seseorang mudah terseret pada cara pandang yang tidak utuh dan mudah berubah.

Di sisi lain, Viktor Frankl tokoh psikologi eksistensial, menyoroti bahwa manusia modern menderita bukan hanya karena tekanan sosial atau beban ekonomi, tetapi karena kehilangan makna hidup. Dalam Man’s Search for Meaning, ia menjelaskan bahwa manusia membutuhkan alasan yang mendalam untuk hidup. Tanpa itu, kekosongan jiwa bisa timbul, bahkan meski seseorang tampak “baik-baik saja” secara sosial. Krisis makna inilah yang sering menjangkiti umat Islam saat cara berpikirnya tercerabut dari akar nilai transendennya.

Fenomena tazwiz al-fikr semakin terasa dalam dinamika kehidupan kontemporer. Ia bukan hanya muncul dalam bentuk kegelisahan batin yang sulit dijelaskan, tetapi juga dalam kebingungan orientasi spiritual dan konflik batin antara nilai agama yang diyakini dengan praktik hidup sehari-hari. Banyak Muslim hari ini meyakini keimanannya, namun meragukan apakah prinsip-prinsip Islam masih relevan dipraktekkan dalam realitas modern. 

Situasi ini bukan semata urusan teologi, melainkan juga masalah psikologis. Ketika keyakinan hanya bertengger di ranah pikiran tanpa menyentuh perasaan dan tindakan, kekosongan makna pun akan muncul. Pada titik ini, umat mengalami krisis eksistensial, mereka percaya, tetapi tak tahu bagaimana harus menghidupi kepercayaannya.

Lebih lanjut, gejala ini diperkuat oleh sikap sebagian umat yang enggan menjadikan nilai-nilai Islam sebagai fondasi dalam berbagai bidang kehidupan. Agama sering kali dipraktikkan sebatas ritual-ritual ibadah formal seperti shalat dan puasa, sementara nilai-nilainya tidak diintegrasikan dalam aspek sosial, ekonomi, politik, dan budaya. Padahal Islam hadir sebagai panduan hidup yang menyeluruh, bukan sekadar pedoman ibadah. 

Ketika ajaran agama dibatasi ruang geraknya, lahirlah ketegangan batin yang mendalam. Individu mengalami benturan antara apa yang mereka yakini dan apa yang mereka jalani. Dalam istilah psikologi, ini disebut disonansi kognitif (cognitive dissonance), yakni perilaku seseorang tidak selaras dengan apa yang diyakininya. Dalam konteks ini, tazwiz al-fikr bukan hanya menunjukkan kekacauan berpikir, tapi juga krisis keberanian untuk menjalani hidup sepenuhnya dalam naungan nilai-nilai Islam.

Untuk mengatasi kekacauan berpikir ini, Islam menawarkan pendekatan integral yang mencakup penyucian jiwa (tazkiyah al-nafs) dan pemurnian cara berpikir (tahzib al-fikr). Keduanya saling berkaitan erat, kejernihan berpikir mustahil tercapai bila hati masih diliputi kabut dosa dan kelalaian, sementara hati yang bersih tumbuh dari kedekatan yang terus-menerus dengan nilai-nilai ketuhanan. 

Dalam pandangan Islam, perbaikan diri tidak berhenti pada ibadah ritual, melainkan menyentuh aspek moral, emosional, dan intelektual secara bersamaan. Kegalauan dan kebingungan berpikir kerap kali muncul dari hati yang jauh dari kesadaran ilahiyah. Maka, memperbaiki cara berpikir harus dimulai dari perbaikan hati, melalui zikir, muhasabah, pencarian ilmu yang lurus, dan usaha membumikan nilai-nilai keimanan dalam setiap aspek kehidupan. Dalam harmoni ini, manusia akan menemukan arah hidup yang lebih jernih, stabil, dan bermakna.

Dalam psikologi modern, berbagai pendekatan seperti terapi kognitif, logoterapi yang dikembangkan Viktor Frankl, serta latihan kesadaran penuh atau mindfulness, dapat digunakan untuk membantu individu memahami cara berpikir yang menyimpang, mengelola tekanan batin, dan menemukan kembali arah hidup yang bermakna. Teknik-teknik ini menekankan pentingnya kesadaran terhadap pikiran serta kemampuan individu untuk menafsirkan ulang pengalaman hidupnya secara lebih sehat. 

Sementara itu, dalam pandangan Islam, proses menemukan makna tidak hanya bertumpu pada upaya manusia semata, melainkan diarahkan dan diterangi oleh iman serta petunjuk wahyu. Islam memandang makna hidup sebagai sesuatu yang melekat pada tujuan penciptaan, sehingga perjalanan batin tidak berhenti pada pencarian, tetapi pada penghayatan yang mendalam terhadap nilai-nilai ilahiyah yang menuntun setiap langkah manusia.

Kita tidak kekurangan sarana, institusi, atau teknologi. Namun kita kekurangan ketajaman berpikir yang berlandaskan nilai. Pikiran yang jernih bukan hanya mampu menjawab tantangan zaman, tetapi juga membimbing jiwa untuk tetap tenang dan tegar dalam badai kehidupan. Sebagaimana Al-Qur’an mengingatkan; “Sesungguhnya bukan mata itu yang buta, tetapi yang buta ialah hati yang di dalam dada” (QS. Al-Hajj: 46).
Dalam kehidupan yang dipenuhi kebisingan wacana, kehilangan arah, dan kegelisahan batin yang kerap tak disadari, tazwiz al-fikr tak lagi sekadar istilah wacana intelektual, ia telah menjadi krisis nyata dalam kesadaran kolektif umat. Bukan Islam yang absen, tetapi keberanian untuk menjadikannya sebagai fondasi berpikir dan bertindak yang makin surut. Karena itu, upaya membenahi pola pikir bukan sekadar urusan nalar, tetapi juga soal kematangan spiritual yang mengakar pada komitmen terhadap nilai-nilai wahyu. 

___________
Penulis adalah mahasiswa Doktoral UIN Sumatera Utara, Dosen STAI Raudhatul Akmal, Penjaminan Mutu Ponpes Darul Adib Medan, dan Pimpinan Rumah Tahfizh Al-Munif.